25 Juni 2024

Idul Ghadir

Memperingati wasiat Rasulullah ﷺ yang menyempurnakan agama Islam

1

Haji Terakhir

18 Dzulhijjah

19 Maret 632 M

Peristiwa Ghadir dimulai saat Nabi Muhammad ﷺ tengah melaksanakan Haji terakhir beliau

Haji ini juga diikuti oleh ratusan ribu kaum muslim dari seluruh penjuru, yang diundang oleh Rasulullah ﷺ untuk ikut haji bersama beliau yang terakhir kalinya

Di Mekkah, usai melaksanakan ibadah haji, Rasulullah ﷺ naik keatas mimbar untuk berkhutbah tentang wasiat terakhir beliau kepada ummat muslim

Diantara para pendengar juga hadir orang-orang munafik yang ingin merebut kekuasaan atas ummat muslim setelah Rasulullah wafat

Dan para munafik ini bisa menebak apa wasiat yang hendak Rasulullah sampaikan:

Siapa yang akan memimpin ummat muslim setelah Rasulullah wafat?

Dengan niat menghalangi pengumuman tersebut, para munafik sengaja membuat onar dan pertikaian, hingga keadaan di Mekah menjadi tidak kondusif sama sekali.

Untuk mencegah keributan dan korban jiwa, Rasulullah ﷺ memutuskan untuk menghentikan khutbahnya dan mengajak seluruh ummat untuk ikut pergi bersama beliau sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Para orang-orang munafik merasa lega. Mereka berhasil menghalangi Rasulullah untuk mengumumkan siapa penerus tangguk kepemimpinannya di depan ratusan ribu ummat muslim

2

Perjalanan ke Ghadir Khum

Ratusan ribu kaum muslim dari seluruh penjuru berbondong-bondong berjalan mengiringi Rasulullah keluar dari Mekah

Mereka semua menunggu apa yang hendak Rasulullah wasiatkan kepada mereka, sebelum khutbah beliau terpotong oleh keributan di Mekah

Selama perjalanan Rasulullah ﷺ menunggu petunjuk dari Allah SWT mengenai saat yang paling tepat untuk menyampaikan wasiatnya kepada para ummat muslim yang bersamanya

Lalu di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, malaikat Jibril ع turun kepada Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan wahyu dari Allah SWT

Wahai Rasul, sam­paikan­lah apa yang telah di­wahyukan padamu dari Tuhanmu;

dan jika en­gkau tidak melakukan­nya (maka) en­gkau sama sekali belum menyam­paikan Risalah-Nya;

dan Allah akan melin­dungimu dari (gangguan) manu­sia

(Qur’an: Surat 5, Ayat 67)

Rasulullah ﷺ kemudian langsung memerintahkan rombongannya untuk berhenti di tempat tersebut.

Rasulullah ﷺ juga mengutus beberapa sahabat yang menunggangi kuda untuk pergi memanggil kembali sebagian rombongan yang sudah jalan terlebih dahulu, dan juga menyegerakan rombongan yang ada di belakang.

Di bawah panas terik matahari, ratusan ribu kaum muslim menunggu selama kurang lebih 4 jam sampai semua rombongan berkumpul di Ghadir Khum

Setelah semua rombongan sampai, Rasulullah ﷺ kemudian memimpin shalat, di­ikuti oleh ratusan ribu kaum muslim.

4

Khutbah Perpisahan

Seusai salat, atas per­in­tah Rasulullah ﷺ, didirikan­lah se­buah mim­bar dari da­han-da­han po­hon, bebatuan dan gerobak yang ada di sekitar.

Dari atas mim­bar itu Rasulullah ﷺ mu­lai berbicara, menyam­paikan sabda-sab­danya den­gan nada tinggi, je­las, dan tegas.

Hingga se­mua orang da­pat meli­hat dan menden­gar apa yang be­liau sam­paikan, atau seti­daknya mema­hami apa yang ter­jadi.

Amma ba’du wa­hai kaum Muslimin! Sesung­guh­nya aku adalah manu­sia bi­asa dan utu­san Tuhanku akan datang me­mang­gilku dan aku akan men­jawab pang­gi­lan­nya

Beberapa kaum muslim mulai berlinang air mata, menangis tak kuat membayangkan kehilangan Rasulullah ﷺ

Aku tinggalkan pada kalian Tsaqalain! (dua perkara yang sangat berharga)

Yang per­tama adalah

Al-Qur’an Kitab Allah!

Padanya ter­da­pat petun­juk dan ca­haya, am­bil­lah (isi) kitab­ul­lah dan pe­ganglah erat-erat.

dan (yang kedua) adalah

itrah' Ahlulbaitku! (keturunan keluargaku)

keduanya tidak akan terpisah sampai keduanya mendatangiku di telaga (Al-Kautsar)!

(H.R. Shahih Muslim, IV: 1874, No. 2408)

Aku in­gatkan kamu kepada Allah atas

Ahlulbaitku!

Aku in­gatkan kamu kepada Allah atas

Ahlulbaitku!

Aku in­gatkan kamu kepada Allah atas

Ahlulbaitku!

Rasulullah ﷺ berhenti se­je­nak, lalu me­mang­gil Ali bin Abi Thalib ع untuk berdiri di samp­ingnya

Rasulullah ﷺ lalu memen­gang tan­gan Imam Ali ع erat-erat dan men­gangkat­nya tinggi-tinggi

Barang siapa yang telah men­jadikan aku pemimpinnya (mawla) maka

Ali adalah pemimpinnya (mawla)

Ya Allah, cintai lah siapa yang mencintainya (Ali)

Musuhilah siapa yang memusuhinya

Tolong lah siapa yang menolongnya

Dan terlantarkan lah siapa yang menelantarkannya

(Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor 641)
Imam Ahmad bin Hanbal (imam mahzab sunni Hambali) mengategorikan hadis ini sahîh li ghairih. Karena memiliki sanad yang sahih dari jalur periwayatan lain yang mencapai tiga puluh sahabat.

Lalu para sa­ha­bat yang di­antaranya ter­da­pat Abu Bakar, Umar dan Usman mem­berikan se­la­mat kepada Imam Ali ع :

Selamat bagimu wa­hai pu­tra Abu Thalib! Sekarang engkau telah menjadi pemimpin kami, dan pemimpin seluruh muslimin dan muslimah!

(Fadail al-Sahabah, Imam Ahmad ibn Hanbal, 2/596, No. 1016.)

Segera sesu­dah Rasulullah ﷺ menye­le­saikan khut­bah­nya, tu­run­lah ayat Qur’an ini:

Hari ini telah Aku sem­pur­nakan bag­imu aga­mamu dan Aku lengkap­kan nikmat-Ku bag­imu, dan Aku telah rela bahwa Islam men­jadi aga­mamu.

(Qur’an 5:3)

Turunnya surah al-Maidah ayat ke-3 ini mene­gaskan fakta bahwa ke­sem­pur­naan agama dan dirid­hainya Islam saba­gai agama bagi umat Islam oleh Allah SWT ter­wu­jud berkat kepemimp­inan Imam Ali ع yang dideklarasikan Rasulullah ﷺ di Ghadir Khum.

Apakah ulama Sunni men­gang­gap ke­ja­dian Ghadir au­t­en­tik?

Banyak ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah yang mencer­i­takan ke­ja­dian ini, baik se­cara rinci ataupun ringkasan­nya. Peristiwa his­toris ini dik­isahkan oleh 110 sa­ha­bat Rasulullah, 84 tabi’in, dan ke­mu­dian oleh ra­tu­san pakar Dunia Islam, se­jak abad per­tama hingga abad ke-14 Hijriah (abad tu­juh hingga abad dua pu­luh M).

Di bawah ini se­ba­gian ke­cil ru­jukan sum­ber-sum­ber peri­way­atan itu. Banyak di an­tara ulama (yang meri­way­atkanya) tidak saja mengutip perny­ataan Nabi ﷺ tapi juga mene­gaskan­nya se­ba­gai sahih (autentik):

Tapi, bukankah kata mawla punya arti kawan?

Meskipun se­jum­lah be­sar ulama Sunni dari berba­gai za­man dan dari berba­gai sudut pan­dang telah memas­tikan pen­da­pat mereka ten­tang ke­ja­dian berse­jarah itu, mereka men­e­mui ke­suli­tan un­tuk men­gaitkan­nya den­gan apa yang ter­jadi sesu­dah Nabi ﷺ wafat, di­mana Abu Bakar men­jadi khal­i­fah per­tama.

Hal ini men­gak­i­batkan banyak ulama Sunni mene­tap­kan bahwa di Ghadir Khum Nabi ﷺ hanya in­gin mene­gaskan bahwa Ali ع sebagai kawan dan peno­long kaum Muslimin, bukan pemimpin.

Namun para ulama ini seakan melu­pakan Quran yang telah men­er­ap­kan kata mawla un­tuk kon­sep wali dan otori­tas. Kata mawla telah dit­er­ap­kan dalam 18 ayat Al-Qur’an. 10 di an­taranya berkai­tan den­gan Allah yang meru­juk pada otori­tas dan kepemimp­inan-Nya, dan hanya dalam be­ber­apa ka­sus, is­ti­lah mawla itu telah dit­er­ap­kan dalam kon­teks per­sa­ha­batan.

Oleh karena itu, tidak di­ragukan lagi bahwa kata mawla pada dasarnya lebih meru­juk pada pen­guasa dan pemimpin.

Lagipula, apakah mungkin Rasulullah ﷺ sengaja mengumpulkan ratusan ribu ummat muslim dari seluruh penjuru, di tengah panas terik padang pasir selama berjam-jam, hanya untuk mengumumkan bahwa Ali bin Abi Thalib ع adalah kawan dan penolong kaum muslim?

Sementara seluruh umat muslim sudah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib ع bukan saja kawan, bahkan merupakan saudara terdekat Rasulullah ﷺ yang beliau asuh dari kecil, dan merupakan pahlawan di semua peperangan kaum muslim?

Adapun banyak hal-hal berkai­tan lainnya yang me­nun­jukkan bahwa ke­ja­dian di Ghadir Khumm itu punya makna yang lebih pent­ing dari­pada hanya pene­gasan Ali bin Abi Thalib ع hanyalah kawan atau peno­long bagi kaum mus­lim:

Semuanya me­nun­jukkan bahwa ke­ja­dian itu men­garah kepada su­atu per­i­hal yang san­gat pent­ing se­ba­gai pen­ing­galan ter­akhir Rasulullah ﷺ un­tuk umat­nya. Jelas bahwa kata mawla yang di­gu­nakan itu adalah un­tuk me­nun­jukkan otori­tas kepemimp­inan yang ab­so­lut sesu­dah Nabi ﷺ.

Tapi, Bukankah Rasulullah ﷺ men­gatakan:
“Aku tinggalkan kitab Allah dan sunnahku”?

Ini adalah ke­salah­pa­haman yang umum. Faktanya, tidak ada sumber yang da­pat dian­dalkan dari riwayat "kitab Allah dan sunnahku" yang merujuk pada hadist tsaqalain di saat khutbah terakhir Rasulullah ﷺ.

Bahkan faktanya, riwayat “aku tinggalkan kitab Allah dan sunahku” dalam hadist tsaqalain itu sama sekali tidak ada dalam kitab sahih sunni yang enam (ku­tub as-sit­tah):

Di luar enam kitab sahih sunni diatas, barulah muncul riwayat “… sunahku”, yaitu dalam kitab hadist Muwatta’ karya Malik, Sirat Rasul Allah Ibnu Hisyam, dan dalam Ta’rikh mi­lik al-Thabari. Namun se­muanya ter­da­pat sanad yang tidak lengkap den­gan be­ber­apa mata rantai sanad yang hi­lang!

Adapun riwayat-riwayat "sunnahku" lainnya yang memi­liki sanad lengkap (is­nad), jum­lah­nya san­gat sedikit dan se­muanya ter­da­pat peri­wayat yang dis­ep­a­kati tidak da­pat diper­caya oleh ulama ri­jal suni terke­muka. Fakta luar bi­asa ini da­pat dikon­fir­masi oleh mereka yang ter­tarik dalam penelit­ian den­gan meru­juk kitab terkait.

Tentu saja, tidak ada yang men­gatakan bahwa sunah Nabi ﷺ tidak harus di­ikuti. Justru, Nabi ﷺ mem­inta umat mus­lim un­tuk meru­juk pada Ahlul­bait­nya yang suci, ter­per­caya, murni dan ter­jaga se­ba­gai sum­ber bagi sunah-sunah­nya.

Lekas siapakah itrah' Ahlulbait yang Rasulullah ﷺ tinggalkan untuk umat musim?

Telah dise­butkan se­belum­nya bahwa Ahlulbait Rasulullah ﷺ ialah pu­trinya Fatimah az-Zahra, Imam Ali, dan pu­tra mereka Imam al-Hasan dan Imam al-Husein ع.

Kelima anggota kelu­arga ini, ter­ma­suk Nabi Muhammad ﷺ se­ba­gai pemimpin­nya, adalah mereka yang hidup ketika ayat Quran men­ge­nai keu­ta­maan mereka di­tu­runkan kepada nabi ﷺ.

Sesungguhnya Allah bermak­sud hen­dak menghi­langkan dosa dari kalian,
wa­hai Ahlul­bait, dan men­su­cikan kalian sesuci-sucinya

Qur'an 33:33

Adapaun itrah' (keturunan) Ahlulbait merupakan 9 keturunan dari Imam al-Husein ع, di­mana yang ter­akhir adalah Imam al-Mahdi ع.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku dan Ali dan al-Hasan dan al-Hu­sain and 9 ke­tu­runan al-Hu­sain adalah yang dis­u­cikan dan ter­jaga.”

(al-Juwayni, Fara’id al-Sim­tayn, (Beirut, 1978), hlm. 160.)
Kebesaran al-Juwayni se­ba­gai ulama hadis telah dite­gaskan oleh al-Dza­habi dalam Tadhkirat al-Huf­faz, juz 4, hlm. 298, dan juga oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Du­rar al-Kam­i­nah, juz 1, hlm. 67



Sumber